![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzetH4rZxhFrIpX5Wmx5C0E2O78VopvUdpZNz22_grrGgi8-QoFP0nTyR4s4CgzMLGxru3hoXizK1xEzGU1NRmn22X9bfbypG48dgbWmgGjf0OI4E8DO8XHPC5WWsfvDBSfKyxrb9LjqlI/s1600/datang.png)
Aku telah dilanda keinginan
mengebu untuk menikah. Bahkan sudah kujalani semua cara agar cepat bisa
melaksanakan sunah Rasul yang satu ini. Malah aku selalu mengimpikannya
di tiap malam menjelang tidur.
Gadis yang kuidamkan sejak
kecil, bahkan menjadi teman main bersama, ternyata dinikahi orang lain.
Padahal dia sudah ngaji. Sedih juga rasanya. Ada juga yang aku dapatkan
dari orang yang aku kenal baik, dan sudah kujalani “prosedurnya”. Tapi
ternyata kandas karena aku dinilai masih terlalu muda untuk menikah.
Akhirnya
, aku kenal dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria. Aku
mengenalnya dengan perantaraan teman dekatku. Jujur saja, aku telah
mendapat biodatanya, juga gambaran wajahnya. Langsung saja kukatakan
pada teman dekatku bahwa aku sangat-sangat setuju.
“Eh, ente (kamu) harus ketemu dulu dan tahu dengan baik siapa dia,” kata temanku.
Tapi kujawab enteng, “Tapi ane (aku) langsung sreg kok”.
“Ya sudah, terserah ente aja lah,” sahut temanku sambil geleng-geleng kepala.
Karena
aku yakin pacaran jelas-jelas dilarang dalam Islam sebab hal itu adalah
jalan menuju zina, aku pun tak menjalaninya. Jangankan zina, hal-hal
yang akan mengarahkan kepadanya saja sudah dilarang. Oleh karena itu,
aku hanya menunggu waktu kapan ada pembicaraan awal antara aku dan
Maisya (akhwat incaranku itu). Sabar deh, sementara ikuti saja seperti
air mengalir.
Lewat kurang lebih 2-3 minggu mulailah
terjadi pembicaraan antar aku dan Maisya. Ketika kuberanikan diri
memulai pada poin yang penting yaitu mengungkapkan niatku untuk
menikahinya, apa jawabnya? Aku disuruh menghadap murabbinya
(guru/pembimbing).
“Kenapa tidak ke orang tua Maisya saja?” tanyaku.
“Tidak, pokoknya akhi (saudara lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi saya.” jawabnya.
Aku
baru tahu, ada seorang akhwat ketika ada yang ingin menikahinya disuruh
menghadap Murabbinya, bukan orang tuanya. Padahal, di antara birrul
walidain adalah menjadikan orang tua sebagai orang yang pertama kali
diajak diskusi tentang pernikahan, bukan gurunya, ustadznya, atau siapa
pun. Barulah kutahu itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat tarbiyah
(pergerakan).
***
Aku catat alamat murabbi
(MR) yang Maisya sebutkan. Pada hari Ahad kuajak 2 teman dekatku untuk
menemani ke rumah sang MR. Dengan sedikit kesasar akhirnya sampailah
kami di rumahnya. Tapi setelah pencet tombol tiga kali dan
“Assalamu’alaikum” tiga kali tak dibuka, kami pun pulang dengan agak
kecewa, sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari sangat terik
menyengat.
Kutelepon Maisya bahwa aku tak bisa ketemu
MR-nya. Maisya membolehkanku hanya dengan menelepon MR. Malam itu juga
aku pun menelepon dan alhamdulillah nyambung. Aku ditanya segala macam
yang berkaitan dengan agama. Dari masalah belajar, kerja, ngaji,
tarbiyah, murabbi-ku, ustadz yang sering kuikuti kajiannya, sampai
buku-buku yang sering kubaca. Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan
lainnya.
Dengan polos dan santai kujawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Yang membuatku heran, ketika kusebutkan nama
ustadz-ustadz yang sering kuikuti kajiannya sampai, nada MR agak beda
dari awal pembicaraan. Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang
sering kujadikan rujukan dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa
bisa begitu.
Kuceritakan pembicaraan itu pada teman dekatku. Ternyata temanku menjawab dengan nada menyesal.
“Aduh,
kenapa tidak bicarakan dulu denganku. Ente tahu? Kalau akan menikahi
akhwat tarbiyah sedang ente tidak ikut dalam tarbiyah atau liqa’
tertentu dan punya MR, maka ente otomais akan ditolak. Apalagi ente
sebutkan nama-nama ustadz, buku-buku dan para syeikh Timur Tengah,
bakalan ditolak deh, itu sudah ma’ruf (populer).”
“Lho kan
ane jawab jujur, saat ini ane tidak ikut tarbiyah, atau apa namanya
tadi, liqa’? Ya memang aku tak ikut. Ane juga nggak punya MR dong. Oo..,
jadi begitu ya?” aku hanya melongo.
***
Beberapa hari kemudian, aku dapat telpon dari Maisya yang menjadikan hatiku sedikit hancur.
“Assalamu’alaikum,
akhi saya sudah mempertimbangkan semuanya, mungkin Allah belum
menakdirkan kita berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan yang
terbaik untuk pasangan kita, saya minta maaf, kalau ada kesalahan selama
ini, Assalamu’alaikum,”
“Kletuk, nuut nuut nuut” terdengar suara gagang telpon ditutup dan nada sambung terputus.
Aku
masih memegang gagang telepon dan hanya bisa melongo mendapat jawaban
tersebut. Kutaruh gagang telpon dengan lunglai. “Astagfirullah,” kusebut
kata-kata itu berulang kali. Apa yang harus kuperbuat? Tak tahu harus
bagaimana. Tapi sohib dekatku yang dari tadi memperhatikanku waktu
menelepon nyeletuk .
“Ditolak ya? Udah deh, kan masih
banyak harem (wanita) lain, ngapain ngejar-ngejar ngapain ngejar-ngejar
yang sudah jelas-jelas nolak.”
Aku jawab saja dengan
ketus, “Ane belum nyerah, karena ada janggal dalam penolakan itu, ane
belum yakin dia menolak, akan ane coba lagi”.
“Udah deh jangan terlalu PD,” sahut sohibku.
Ternyata
bener juga kata temanku itu, jawaban-jawabanku kepada MR menyebabkan
aku ditolak oleh Maisya. Aku dipandang beda manhaj dalam memahami Islam,
padahal yang kusebutkan waktu menjawab pertanyaan tentang buku-buku
rujukan adalah Fathul Majiid, Al-Ushul Al-Tsalatsah, dan kitab-kitab
karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad Shalih
Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka selalu mendasarkan
bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.
Hatiku sudah
terlanjur cocok sama Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg sekali kalau
Maisya jadi pendamping hidupku. Tapi aku ditolak. “Apa yang harus
kuperbuat?” kataku dalam hati. Menyerah kemudian mencari yang lain? Baru
begitu saja kok nyerah.
Tanpa sepengetahuan sohibku,
kutulis surat ke orangtua Maisya. Yang kutahu bahwa dia hanya punya ibu.
Bapaknya sudah meninggal saat Maisya berumur 8 tahun. Kutulis surat
yang isinya kurang lebih tentang proses penolakan itu. Juga janjiku jika
ditolak oleh ibunya, maka aku akan menerima dan tak akan menghubunginya
lagi.
Dengan penuh harap kukirim surat tersebut, tak
disangka ternyata surat itu sampai di tangan Maisya dan dibacanya.
Alamak, kenapa bisa begitu? Untuk beberapa hari tidak ada respon. Gundah
gulana pun datang. Apa yang harus kulakukan?
Kuputuskan
untuk mengirim surat ke Maisya langsung. Semuanya aku ungkapkan dengan
bahasa setengah resmi tapi santai. Aku memang sedikit ndableg. Di
penghujung surat tersebut kukatakan, “Kalau memang Allah takdirkan kita
tidak jodoh, saya punya satu permintaan, tolonglah saya untuk
mendapatkan pendamping dari teman-teman Maisya yang Maisya pandang pas
untuk saya, minimal yang seperti Maisya.”
Kupikir Maisya
akan “tersungkur” dengan membaca suratku yang panjang lebar. Aku
berpikir seandainya ada orang membaca suratku, pasti akan mengatakan
“rayuan gombal!”. Tapi jujur saja, itu berangkat dari hatiku yang paling
dalam.
Surat kedua itu, qadarallah ternyata malah
diterima dan dibaca oleh ibu Maisya dan kakak perempuannya. Nah, dari
situkah terjadi kontak antara aku dan keluarganya. Tak disangka-sangka
kudapat telpon dari kakak perempuan Maisya, Kak Dahlia (tentu saja bukan
nama asli). Kak Dahlia menelepon dan memintaku untuk datang ke rumahnya
guna klarifikasi surat tersebut.
***
Seminggu
kemudian kupeniuhi undangan itu. Setelah bertemu dan “sesi tanya-jawab”
, dengan manggut-manggut akhirnya Kak Dahlia angkat bicara,
“Baiklah,
kakak sudah dengar cerita kamu, saya heran kenapa Maisya menolakmu, ya?
Padahal menurut hemat kakak, kamu pantas diterima kok”.
Hatiku
berbunga-bunga mendengarnya,. Tapi langsung surut lagi karena
pernyataan itu datang dari Kak Dahlia bukan Maisya. Aku sedikit senyum
kecut menanggapi omongan kak Dahlia.
“Begini aja deh, kamu
sekarang pulang dulu. Biar nanti kakak dan Umi yang akan rayu Maisya.
Pokoknya kamu banyak doa aja. Pada dasarnya kami setuju kok sama kamu.”
Aku
izin pulang dengan sedikit riang gembira. Mulutku hanya bergumam penuh
doa, semoga Allah mengabulkan cita-citaku. Kira-kira 2 minggu setelah
itu kudapat telpon lagi dari Kak Dahlia agar aku ke rumahnya. Dia bilang
aku harus bertemu langsung dengan Maisya. Hatiku pun berdebar. Dengan
sedikit gagap aku iyakan undangan itu. “Besok deh Kak, insyaAllah saya
datang,” jawabku.
Aku duduk di kursi ruang tamu yang sama
untuk kedua kalinya. Sedikit basa-basi Kak Dahlia mengajakku ngobrol
tentang hal-hal yang belum ditanyakan pada pertemuan sebelumya. Kurang
lebih 10-15 menit Kak Dahlia memanggil Maisya agar ke ruang tamu
menemuiku. Dadaku berdegub. Inilah saatnya aku nadhar (melihat)
bagaimana rupa Maisya yang sebenarnya. Apa sama seperti yang kubayangkan
sebelumnya? Jangan-jangan tidak sama. Lebih jelek atau bahkan lebih
cakep dari aslinya. Tunggu saja deh.
Tidak lama kemudian
keluarlah sosok makhluk Allah yang bernama Maisya. Aku tetap menjaga
pandanganku. Tapi jujur saja, tak kuasa kucuri pandang untuk yang
pertama kalinya. Bahkan seharusnya untuk acara nadhar biasanya lebih
dari mencuri pandang, karena memang dianjurkan oleh Rasulullah. Tapi
bagiku sangat cukup melihatnya sekali-kali. Aku hanya bisa mengatakan
dalam hatiku tentang Maisya, subhanallah! Aku tak bisa ceritakan kepada
pembaca karena itu hanya untukku saja.
Tak sadar keringat
dingin mengalir dari pelipis. Ada apa gerangan? Kenapa rasanya agak
grogi? Ah, aku harus teguh dan tangguh hadapi semua ini. Obrolan pun
mulai bergulir. Dari mulai pertanyaan-pertanyaan agama secara umum
sampai diskusi tentang kerumahtanggaan. Kurang lebih satu jam aku di
rumah itu. Aku pun pamit sambil memberikan hadiah-hadiah buku-buku kecil
tentang agama.
Di bus kota aku senyum-senyum sendirian.
Seakan-akan bus itu adalah bus patas AC padahal sebenarnya hanya bus
ekonomi yang panas dan penuh asap rokok. Tapi semua itu tidak kurasakan.
Kuberdoa semoga rayuan Kak Dahlia berhasil.
Ternyata
benar, beberapa hari kemudian aku ditelepon Maisya, kali ini menanyakan
kelanjutan proses kami kemarin. Kujawab jika dibolehkan akan kuajak
keluargaku di waktu yang kutentukan. Di penghujung pembicaraan, Maisya
setuju dengan tawaranku.
Kutanya ke sana ke mari tentang
barang-barang apa yang pantas dibawa ketika meng-khitbah seorang wanita.
Kubeli sebuah koper kecil dan kuisi dengan barang-barang seperti bahan
pakaian, komestik, sepatu, dan sebagainya. Tak lupa aku bawakan
buah-buahan seadanya. Hal ini sebenarnya sudah kutanyakan kepada Maisya,
tapi Maisya hanya menjawab terserah aku mau bawa apa saja pasti dia
akan terima. Duh…, senangnya.
Sebelumnya aku lupa,
ternyata Maisya masih punya darah Arab dari ibunya. Bahkan, ibunya punya
nasab Arab yang dikenal di Indonesia sebagai Habib (Orang Arab yang
mengaku punya garis nasab langsung dengan Rasulullah). Padahal setahuku
Rasulullah tak punya keturunan laki-laki yang kemudian punya anak. Yang
ada hanya Fatimah yang diperistri oleh Ali bin Abi Thalib. Sedangkan
dalam Islam, darah nasab hanya sah dari garis bapak atau lelaki (
Koreksi:
Cucu beliau dari anak-anak beliau merupakan termasuk keluarga beliau
yang berarti ahlul bait). Jadi, mungkin yang dimaksud mereka adalah
keturunan dari Ali bin Abi Thalib.
Satu hal yang perlu
diketahui, bahwa dalam adat orang Arab terutama golongan Habaib atau
Habib, wanita mereka pantang dinikahi oleh non Arab. Bahkan, sebagian
mengharamkannya. Alasan yang populer adalah mereka merasa lebih mulia
dari keturunan non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Aku pun harus
siap dengan apa yang akan aku hadapi nanti. Bisa jadi ditolak atau
tidak. Dan yang ada di depan mataku adalah ditolak.
Aku
datang sekeluarga dengan naik Taksi. Aku tidak punya mobil. Dari mana
aku punya mobil sedangkan aku baru bekerja setahun? Sambutan hambar
kudapatkan ketika memasuki ruang tamu. Di situ sudah hadir ibu-ibu yang
merupakan keluarga besar dari ibu Maisya. Anehnya,di acara itu tidak
hadir laki-laki dari pihak keluarga besar Maisya.
Kemudian
acara dilanjutkan dengan saling memberi sambutan. Namun yang kutunggu
hanya momen di mana Maisya menerima lamaranku dari mulutnya sendiri.
Saat itu pun tiba. Dengan agak malu-malu dan terbata-bata Maisya
menerima lamaranku.
Diakhir acara ketika hari penentuan
hari “H” dan bentuk acaranya. Ada salah satu dari anggota keluarga
Maisya yang menanyakan uang untuk walimah nanti. Aku hanya menjawab
bahwa hal itu sudah kubicarakan dengan Maisya. Tapi dia memaksaku untuk
menyebutkan jumlahnya. Aku tetap tak mau menyebutkan. Rupanya orang tadi
kecewa berat dengan jawabanku.
Setelah acara selesai,
aku pamit. Sedikit lega kulalui detik-detik mendebarkan. Aku bersyukur
kepada Allah yang meloloskan diriku pada babak berikutnya dalam usaha
mengamalkan sunah Rasulullah yang mulia ini.
Ternyata ujian belum
selesai juga. Maisya didatangi keluarga besarnya dengan membawa lelaki
yang akan dijodohkan dengannya. Lamaranku ditimpa oleh lamaran orang
lain. Orang yang akan dijodohkan dengan Maisya masih punya hubungan
keluarga. Mereka datang dengan mobil, membawa makanan banyak sekali,
uang lamaran, dan juga perhiasan.
Apa yang kubawa kemarin
tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dibawa pelamar kedua ini.
Tapi subhanallah, apa yang Maisya lakukan? Maisya tak mau menemuinya.
Maisya tak menerima lamarannya.
Bahkan setelah rombongan
itu pulang dan meninggalkan bawaan mereka sebagai lamaran untuk Maisya,
apa yang Maisya lakukan? “Kembalikan semua barang bawaannya dan jangan
ada yang menyentuh walau untuk mencicipi makanan, kembalikan dan jangan
ada yang tersisa di rumah ini.” Aku dapatkan cerita ini dari kak Dahlia
yang meneleponku.
Mendengar semua ini, tak terasa air
mataku menetes membasahi pipiku. Padahal aku adalah lelaki yang selama
ini selalu berpantang untuk menangis. Saat itulah aku mulai yakin bahwa
Maisya harus kudapatkan, sekali pun harus menghadapi hal-hal yang
menyakiti hatiku.
***
Beberapa hari kemudian
aku mendapat telepon dari seorang ibu yang mengaku bibi Maisya. Ketika
kutanya namanya dia tak mau menyebutkan. Malah dia nyerocos panjang
lebar tentang acara lamaranku kepada Maisya. Dengan nada sinis dan
tinggi dia mulai merayuku untuk membatalkan lamaranku. “Saya kasih tau
ya! Kamu kan baru bekerja belum satu tahun, belum punya rumah dan mobil.
Sedangkan Juli Jajuli (bukan nama asli) kan sudah punya kerjaan, rumah
besar, mobil ada dua. Jadi, kamu batalkan lamaran. Biar Maisya menerima
lamaran Jajuli. Kamu kan bisa cari yang lain.”
Hhh!
Betapa mendidih mendengar ocehan sinis itu. Tapi aku langsung kontrol
diri. Aku jawab dengan suara pelan dan sopan bahwa aku akan terima hal
itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapa pun. Sebelum kudengar
langsung dari mulut Maisya, aku tak akan pernah membatalkan lamaranku.
Gubrakkkk!, terdengar suara gagang telepon dibanting, padahal jawabanku
belum selesai.
Suatu hari di tengah kesibukanku, datanglah
seorang wanita sekitar umur 25-30 tahun ke kantorku. Tanpa permisi dan
sopan santun dia menghampiriku, “Kamu yang melamar Maisya? Kamu tuh ga
tahu diri ya? Belum jadi menantu saja sudah belagu,” cerocosnya.
“Mohon tenang dulu, apa masalahnya? Ayo kita duduk dulu di sini jelaskan dengan pelan,” sambutku dengan sabar.
“Kamu
tuh kalo ngasih alamat yang jelas, biar mudah dicari, saya sudah
muter-muter mencari alamatmu tapi ternyata tidak ketemu-ketemu, apa kamu
mau mempermainkan kami?” tukasnya sambil menunjukkan kartu namaku.
“Apa tadi ente tidak tanya sama orang-orang?” tanyaku.
“Tidak!” jawabnya ketus.
“Ya jelas pasti kesasar, seharusnya ente tanya-tanya dong,” sahutku.
“Aaah
udah deh jangan banyak alasan,” jawabnya. “Eh aku kasih tau ya, kau tuh
jangan pernah macam-macam dengan keturunan Nabi, kuwalat loh!”,
ancamnya.
Dengan sedikit senyum kujawab ancamannnya,
“Kalo Nabi punya keturunan seperti ente, pasti Nabi akan sangat marah
pada ente. Wanita kok pakai celana jeans, kaos ketat, dan tidak
berjilbab. Nabi tentu akan malu jika punya keturunan seperti ente.”
Wanita itu kabur sambil ngomel-ngomel entah apa yang dia katakan.
Kejadian
itu membuat hatuku semakin was-was dan khawatir. Kalau demikian
dengkinya mereka dengan pernikahanku bersama Maisya, maka bisa jadi
mereka akan lebih jauh lagi dalam memberikan “teror”. Akankah mereka
menghalangiku sampai pelaksanaan hari “H”? Wallahu a’lam.
Yang
jelas sebelum aku tanda tangan surat nikah yang disediakan penghulu,
maka aku belum bisa menentukan bahwa Allah takdirkan aku menikahi
Maisya. Semuanya bisa terjadi. Sabarkanlah diriku ya Allah.
Dari
telepon pula aku tahu bahwa Maisya sempat disidang oleh keluarga
besarnya untuk membatalkan pernikahan denganku. Tapi dia lebih memilih
akan kabur dari rumah dan tetap menikah denganku. Padahal keluarganya
memberi pilihan: batal nikah atau putus hubungan keluarga.
***
Undangan
mulai kucetak. Sederhana sekali karena aku memang tidak punya biaya
banyak untuk pernikahan ini. Aku tidak punya saudara di kota tempat
Maisya tinggal. Jadi undangan yang banyak hanya untuk keluarga,
tetangga, dan kenalan Maisya.
Hari H semakin dekat.
Persiapan juga semakin matang. Aku terharu lagi ketika ditanya, “Akhi
siapnya ngasih berapa untuk persiapan ini? Tapi jangan merasa berat dan
terpaksa, kalau tidak ada ya nggak apa-apa.” Aku hanya bisa tergagap
menjawabnya. Ku katakan bahwa aku akan mendapat sumbangan dari kantorku
tapi perlu proses untuk cair, jadi sementara aku hanya bisa beri
sedikit. Itu pun sudah kupaksakan pinjam ke sana-sini. Tapi Maisya
menyambut hal itu dengan tanpa cemberut sedikitpun.
Subhanallah.
Panitia
pernikahan dari ikhwan sudah aku siapkan. Aku bertekad bahwa pernikahan
ini harus seislami mungkin, di antaranya memisahkan antara tamu pria
dan wanita walau mungkin akan mendapatkan respon yang bermacam-macam.
Aku tak peduli.
Keluarga Maisya pun tak tinggal diam. Di
antara mereka ada yang memintaku agar busana Maisya pada saat penikahan
nanti adalah busana pengantin pada umumnya. Astaghfirullah, usulan yang
sangat berlumuran dosa. Jelas kutolak mentah-mentah.
Ada
juga yang nyeletuk agar pernikahan kami dihibur dengan orkes atau musik
gambus dan yang sejenisnya. Tapi itu pun aku tolak. Ternyata sampai
mendekati hari H pun aku harus beradu urat syaraf dengan mereka.
Tibalah
saatnya kegelisahanku yang paling dalam. Aku sedang berpikir bagaimana
jadinya jika ada yang mengacaukan pernikahanku. Aku punya seorang
saudara marinir. Aku telepon dia dan kuwajibkan datang. Kalau perlu
pakai seragam resmi lengkap. Aku akan jadikan dia sebagai pengamanan
tambahan. Karena pengamanan Allah lebih kuat, bahkan tidak perlu ada
pengamanan tambahan. Itu hanya ikhtiar saja. Malam hari “H” dia datang
dan siap menghadiri acara nikah besoknya.
Aku minta
bantuan teman lamaku untuk mengantarku pakai Kijang. Teman senior
kantorku yang sudah aku anggap orang tuaku juga siap mengantar pakai
Panther, bahkan dialah yang akan memberi sambutan dari pihak mempelai
pria.
Dengan sedikit gemetar dan mata sedikit basah, aku
lalui proses ijab kabul yang sederhana tanpa disertai ritual-ritual yang
tidak ada dasarnya seperti sungkem, injak telor, membasuh kaki, dan
sebagainya.
Tangisku meledak ketika berdua dengan Maisya
untuk pertama kalinya. Tangis makin dahsyat saat aku menghadap ibuku.
Kupeluk erat-erat ibuku, kakakku, dan saudara yang mendampingiku.
Subhanallah,
aku sudah menjadi seorang suami. Aku menjadi kepala keluarga yang
didampingi oleh Maisya yang aku dapatkan dengan “darah dan air mata”.
Akhirnya kulalui rumah tangga ini dengan segala bunga rampainya sampai
dikaruniai beberapa anak yang lucu-lucu. Semoga dapat aku lalui
kehidupan ini dengan diiringi bimbingan dari yang Maha membolak balikkan
hati, sehingga hatiku tetap teguh dengan agama-Nya.